Modernis.co, Malaysia – Menanggapi pernyataan dari sambutan Presiden Republik Indonesia di groundbreaking pembangunan Gedung Bank Mandiri dan Gedung Telkom Smart di Ibu Kota Nusantara (IKN) melalui Youtube Channel Sekretariat Presiden, perlu dipahami bahwa pembangunan sebuah kota mencerminkan pembangunan sebuah peradaban manusia.
Bagaimana sebuah kota itu dibangun akan mencerminkan hakikat wujud peradabannya. Peradaban manusia adalah suatu subjek sebagaimana subjek disiplin lainnya seperti hubungan masyarakat, komunikasi atau hubungan internasional.
Seperti contoh dalam hubungan internasional, individu, negara, dan struktur internasional adalah subjek. Sebagaimana subjek lainnya, peradaban manusia itu tidak statis namun dinamis atau terus bertransformasi.
Dalam memahami konteks peradaban, penulis teringat pernyataan Dr. Zaini Othman, saat ini merupakan peneliti dan dosen dari Universiti Kebangsaan Malaysia yang menyatakan bahwa suatu peradaban akan cenderung bertransformasi apabila telah ditemukan dua (2) hal, yaitu, (1) ilmu yang baru dan (2) teknologi yang baru. Perlu diketahui bahwa peradaban manusia itu bisa bertransformasi, namun tidak semua transformasi itu bernilai positif untuk suatu peradaban.
Adalah suatu kewajiban bagi suatu bangsa untuk memiliki cita-cita di masa depan. Maka dari itu, penting untuk menentukan ke arah mana transformasi itu menuju. Apakah suatu bangsa dan pemimpinnya rela membiarkan negaranya bergerak menuju sebuah peradaban yang tidak berarah?
Atau apakah suatu bangsa dan pemimpinnya ingin menjadi penunjuk jalan bagi bangsanya untuk bertransformasi menjadi suatu peradaban yang berbeda tetapi lebih baik dari sebelumnya? Penulis menempatkan diri sebagai penulis independen dalam mengamati apa yang perlu diupayakan sebagai langkah bagi pemerintah Indonesia dalam berinvestasi dan mewujudkan ibu kota baru yaitu Ibu Kota Nusantara (IKN).
Secara realitas, penulis percaya bahwa beban untuk menciptakan suatu peradaban manusia yang maju, yang merupakan alasan utama mengapa ibu kota baru dieksekusi, bukanlah beban tunggal pemerintah semata, namun adalah beban bagi setiap individu, hingga keluarga kecil, yang perannya juga penting dalam melahirkan masyarakat yang diharapkan dapat berkontribusi menghadirkan kemajuan bagi negara.
Oleh karena itu, dalam konteks pembangunan IKN, pemerintah perlu berada di garda terdepan dalam mendesain bagaimana sebuah IKN ini akan dibangun dan mengumpulkan stakeholders yang berbagi visi dan misi yang sama dalam pembangunan IKN ini.
Pembangunan sebuah kota, khususnya ibu kota perlu mencerminkan dan mempertontonkan nilai-nilai baru. Dalam hal ini, penulis ingin mengingatkan bahwa nilai-nilai tersebut perlulah mencerminkan nilai-nilai yang berbeda dari apa ‘yang ada’ (jika ada) di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Apakah IKN ini hanya menghadirkan nilai-nilai yang sama seperti Jakarta?
Jika jawabannya ‘ya’, maka investasi IKN ini sia-sia karena pembinaan kota ini hanyalah untuk mewujudkan Jakarta 2.0, dan hanya akan transfer masalah yang sedang dihadapi oleh kota-kota besar di Pulau Jawa (khususnya) ke Pulau Kalimantan, yang akan memiliki dampak yang signifikan kepada lingkungan sekitar, khususnya ruang hijau di Indonesia dan Kalimantan sebagai paru-paru Bumi.
Bagaimanakah orientasi pembangunan IKN bagi pemerintah? Apakah pernyataan bahwa IKN akan mengadopsi ‘green city’ yang ramah terhadap lingkungan atau ‘smart city’ yang canggih dengan teknologi-teknologi terbaru itu sudah cukup memuaskan? Untuk hal ini, penulis merasa keberatan apabila orientasi-orientasi tersebut menjadi yang ter-utama atau tujuan pokok mengapa IKN perlu diwujudkan.
Karena tidak ada urgensi untuk menghadirkan ‘green city’ atau ‘smart city’ di wilayah ‘tengah hutan’ dari nol, di wilayah (hutan lebat) yang sepatutnya dilindungi. Kedua orientasi ini bisa diterapkan kepada kota-kota lainnya yang sudah wujud. Bahkan, biaya untuk mewujudkan orientasi tersebut di kota-kota besar yang sudah wujud, itu jauh lebih kecil biayanya atau dibandingkan menghadirkan orientasi-orientasi ini di kota baru, suatu ‘kota impian’ yang pembangunannya bergantung kepada konsistensi-konsistensi terhadap visi dan misi para pemimpin/administrasi yang akan terus berganti di republik ini.
Pada bagian pendahuluan telah dinyatakan bahwa teknologi adalah diantara faktor yang dapat merubah sebuah peradaban manusia. Namun demikian, apakah pengadopsian ‘green city’ dan ‘smart city’ yang berlandaskan teknologi dalam skala masif dapat menjamin suatu transformasi yang membawa kemajuan intelektual bangsa Indonesia?
Teknologi adalah produk yang dihasilkan dari suatu pemikiran/intelektualitas, tetapi teknologi tidak dapat menuntun bagaimana sebuah bangsa bisa bertransformasi secara intelek. Teknologi bisa merubah aktivitas keseharian peradaban manusia dan menjadikan semuanya serba cepat di era di mana urgensi akan kecepatan memang menjadi salah satu dari kunci utama keberhasilan.
Namun teknologi tidak dapat menjamin suatu peradaban untuk bisa menjadi bangsa yang terlatih untuk ‘berfikir ke depan, maju secara pemikiran atau out of the box’, atau untuk menghadirkan suatu bangsa yang mumpuni dalam menciptakan teknologi-teknologi canggih.
Sejauh ini pasar Indonesia di mata dunia memang besar, disaat yang sama yang dunia lihat kita hanyalah sebatas sebagai tingkat jumlah konsumen yang tinggi, bukan suatu negara yang dikenal sebagai inovator. Hal tersebut adalah suatu jebakan yang saat ini bangsa Indonesia sulit untuk keluar, ‘penghancuran kreatif’.
Maka, dari manakah nilai-nilai yang dapat membangun bangsa yang berfikir jauh ke depan atau memiliki kadar intelektualitas yang lebih mapan dapat dilancarkan? Penulis melihat bahwa nilai-nilai tersebut dapat diusahakan dan dicerminkan terus menerus dalam pembangunan IKN ini dengan berkelanjutan.
Apa kaitannya menciptakan bangsa yang berfikir jauh ke depan atau memiliki kadar intelektualitas yang lebih mapan dengan pembangunan pembangunan suatu kota seperti IKN? Saat ini, optimisme masyarakat kepada IKN cukup tinggi, namun optimisme itu tidak hanya sekedar suatu pembangunan kota yang Indonesia rasa urgensinya besar untuk menghindari permasalahan yang sudah banyak dirasakan dan dijadikan perdebatan di Jakarta.
Hal ini tidaklah cukup, karena jika niat pembangunannya dan orientasinya hanyalah sebatas demikian, maka IKN bukanlah sesuatu yang dapat mengobati permasalahan tata ruang dan kota yang Indonesia sudah lama hadapi semenjak kemerdekaan.
Orientasi IKN tidak seharusnya hanya mengutamakan ‘orientasi fisik bangunan’, tetapi harus menjadi suatu kota baru yang masyarakatnya dibiasakan dengan norma, kebiasaan, dengan akses tidak setengah-setengah yang mengutamakan investasi kepada manusia-manusia Indonesia secara baik secara ilmu dan skill.
Pembangunan IKN memang seharusnya berbeda dengan kota-kota lainnya di Indonesia dan menjadi acuan ke arah mewujudkan peradaban yang lebih maju bagi Indonesia. Itulah suatu kota yang dapat membawa mimpi Indonesia Maju menjadi realitas dan bukan sekedar doktrin yang disampaikan tanpa aksi konkrit.
Berfokus kepada sumber daya manusia sendiri yang harus dibiasakan dengan berpikir kritis dalam bidang-bidang yang mereka pilih, dan bukannya memanjakan mereka dengan orientasi-orientasi fisik pembangunan kota yang ambisius tanpa mementingkan masyarakat yang akan menghidupi kota itu.
Jika acuannya hanyalah sekedar mimpi ‘Generasi Emas 2045’ yang tidak mempertimbangkan manusia Indonesia secara keseluruhan seperti yang disebut di halaman sebelumnya, dan hanya suatu ambisi setelah 100 tahun bangsa Indonesia merdeka, suatu ambisi yang juga dimiliki oleh negara-negara lain yang sedang menuju kemerdekaannya yang ke 1 abad, maka ia bukanlah sesuatu yang sifatnya berkelanjutan.
Contoh sederhana adalah pemikiran tentang jarak dari satu destinasi ke destinasi lain di IKN perlu untuk dirubah. Penulis beranggapan bahwa pernyataan-pernyataan dari Presiden Joko (Jokowi) Widodo akhir-akhir ini bahwa sebuah bandara akan dibangun dengan jarak tempuh sekitar 15 menit itu tidak mencerminkan nilai-nilai yang baru.
Meskipun Presiden Jokowi-lah yang telah berjuang dan berada di garda terdepan dalam memperjuangkan IKN sebagai suatu undang-undang dan menjadikannya mandat bagi pemerintahan berikutnya.
Secara lintas memang benar bahwa jarak adalah sebuah tantangan bagi individu untuk bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun, jarak merupakan sebuah peluang untuk meratakan sebuah pembangunan. Dengan adanya jarak maka infrastruktur-infrastruktur transportasi akan semakin giat digenjot.
Jarak juga akan mengurangkan kepadatan penduduk, di mana penduduk tidak hanya akan tertumpu di titik-titik tertentu saja tetapi akan lebih merata. Lokasi IKN tidaklah terletak begitu jauh dengan kota-kota yang sedia ada iaitu Samarinda maupun Balikpapan. Tambahan lagi, kota-kota tersebut juga sudah memiliki bandara masing-masing.
Alangkah baiknya apabila bandara yang sedia ada tersebut digunakan dan ditambah baikkan lagi dan akses-akses untuk ke bandara tersebut ditingkatkan. Pemikiran tradisional bahwa jarak merupakan sebuah ancaman boleh diubah menjadi peluang. Peran seorang pemimpin untuk menunjukkan transformasi dalam pemikiran dan intelektualitas amatlah penting untuk dijadikan sebagai contoh dan pemimpin bagi sebuah Bangsa Indonesia.
Hal seperti ini mungkin kelihatan remeh di kaca mata masyarakat umum. Namun bagi penulis amatlah penting karena penulis berpendapat bahwa pembangunan sebuah kota mencerminkan sebuah peradaban manusia itu sendiri. Pembangunan kota adalah hasil daripada pemikiran sebuah bangsa itu sendiri.
Maka apabila apapun yang dipikirkan oleh sebuah bangsa tentang pembangunan kota, begitulah sebuah kota itu akan terbentuk. Oleh hal yang demikian, adakah IKN ingin menjadi seperti Jakarta 2.0?
Akhir kata, pembangunan IKN yang memakan biaya, ruang dan waktu yang besar perlulah dimaksimalkan dengan sebaik mungkin bukan sekedar dibangun tetapi dibangun dengan nilai-nilai yang berbeda dari kota-kota yang lain. Apalah gunanya jika pembangunan IKN digenjot secepat-cepatnya namun hanya sekadar ala-kadarnya tanpa menampilkan nilai-nilai yang berbeda?
Oleh: Hanif Abdurahman Siswanto, Mahasiswa Pascasarjana di Centre for Policy Research, Universiti Sains Malaysia, Malaysia